Bila waktu telah memanggil
Teman sejati hanyalah amal
Bila waktu telah terhenti
Teman sejati tinggallah sepi
Teman sejati hanyalah amal
Bila waktu telah terhenti
Teman sejati tinggallah sepi
Ada yang terus mengintaiku, mengikuti gerak langkahku setiap
saat, menungguku untuk sebuah pertemuan yang dinanti. Dia selalu mengawasiku
setiap waktu. Jika aku berada di depan, maka dia pasti ada di belakangku. Jika
aku berada di samping kanan, maka dia berada di samping kiriku. Jika aku di
atas , dia pasti ada di bawah. Siapakah gerangan ?
Dialah “Kematian”, “kematian” banyak hal yang melintasi
pikiranku saat aku menyebutnya. Semua pasti akan mati, semua pasti akan
mengalami sekarat, dan semua yang hidup pasti akan bertemu dengan-nya tak dapat
kusanggah. Saat menjelang kematian dalam kehidupan manusia terdahulu adalah
saat yang pasti aku lalui juga.
Demi Alloh, dia pasti akan datang kepadaku. Demi Alloh dia
pasti akan menegukku. Sama seperti raja-raja di istana megah itu, seperti
pemimpin – pemimpin bangsa di masa lalu. Seperti orang-orang kaya yang setiap
harinya kelihatan “bahagia” (jika mereka mati, masihkah “bahagia”?), atau
mereka yang fakir yang setiap harinya bergumul dalam penderitaan, atau
orang-orang miskin yang terus meratapi segala kekurangannya, atau para hamba
sahaya yang tiada sekejappun orang memandangnya. Mereka semua telah merasakan
kematian. Mereka semua telah bertemu dengan kematian.
Bila mati, bila manusia mati,maka sudah tak ada lagi yang
bisa dibangga-banggakan. Seorang yang cerdik sekalipun, kecerdikannya tak akan
bisa melarikan dirinya dari peristiwa kematian. Bila mati, maka semua strategi
para ilmuan dan tokoh jenius itu pasti akan patah. Bila mati, semua kekuatan
orang-orang yang berkuasa itu akan binasa. Bila mati, bangunan yang tinggi
menjulang, istana-istana megah dunia, atau gedung pencakar langit yang kokoh
akan runtuh seketika. Kematian juga yang telah meruntuhkan bangunan orang-orang
kaya itu.
Suatu kali aku bertanya pada diriku sendiri, bila mati,
bagaimana bila aku mati ? Ah … selama ini aku memang tidak tahu kapan dia akan
datang bertamu, karena dia tidak pernah membuat janji sebelumnya denganku.
Namun, bagaimana kalau dia tanpa diduga tiba-tiba datang kepadaku ? Menegukku,
membuatku sekarat ? Bagaimana ?
Bila mati, bila aku mati, itu berarti aku harus rela
ditinggal sendiri. Ibu, bapak, saudara –saudaraku, mereka semua pergi.
Sahabat-sahabat dekat yang selama ini menjadi tempat curahan hati,
tetangga-tetangga yang suka mengantarkan makanannya kepadaku, mereka hanya
berlalu dan pergi meninggalkanku. Apalagi hasil jerih payahku mengais rezeki
hari demi hari sekepingpun tak dapat menolongku lagi. Apa yang terjadi ? Saat
itu aku pasti akan sendirian, dalam gelap gulita diselimuti sepi, mencekam,
mati.
Bila mati, yang ada dalam gambaranku adalah suatu peristiwa
yang amat penting bagi yang hidup. Aku tidak tahu bagaimana rasanya bila nanti
seolah olah ada sebuah gunung yang kokoh lagi menjulang tinggi berada di atas
dadaku, menahanku, menghilangkan kesempatanku untuk menghirup udara dunia,
mungkin jika bisa, itupun seakan-akan aku bernafas di sebuah lubang
jarum. Bernafas di sebuah lubang jarum ? Pergulatan macam apa itu ? Atau
seumpama aku sedang dipukuli dengan sebuah dahan pohon yang penuh duri lagi
tajam, kemudian duri-duri itu menancap di semua urat-uratku. Lantas,
lantas dahan tersebut ditarik, sehingga setiap urat dalam tubuhku juga ikut
tertarik, menyisakan kepedihan dan sakit yang luar biasa. Demi Alloh, apakah
nanti lebih perih dari yang sekedar aku bayangkan ?
Bila mati, bila aku mati, maka akan ada sesuatu yang
menampakkan wajahnya padaku. Dialah Izroil, Sang Malaikat Maut yang akan turun
dari penjuru langit untuk menjemputku. Namun, apakah nanti dia akan menampakkan
rupanya dengan wajah penuh keramahan dan kehangatan ataukah sebaliknya ? Bisa
jadi nanti dia datang dengan wajah garang tanpa belas kasihan. Bagaimana nanti
? Ketika dadaku menyempit, nafasku tersengal-sengal, sampai ke tenggorokan,
tubuhku kaku sulit digerakkan. Saat itulah dia menunaikan tugasnya, memisahkan
ruh dan jasadku. Menuntaskan episode akhir dari sebuah perjalanan hidupku di
dunia ini. Itu pasti akan terjadi, nanti, bila aku mati.
Kemudian, bila mati, bila aku mati, orang-orang akan
membaringkanku, memandikanku, menyolatiku, mengafani tubuhku yang kaku,
menggotongku dan menimbunkanku di dalam sebuah ruang sempit, gelap, senyap dan
sunyi. Detik-detik saat aku dibaringkan dalam liang kubur itulah yang akan
menjadi awal babak baruku menuju fase berikutnya setelah kematian, yakni
mengarungi alam kubur. Tak ada pagi, siang ataupun malam hari, karena semuanya
sama jika sudah masuk ke dalam, terpendam berkalang tanah. Oh .. adakah tempat
yang lebih jauh dari tempat itu ? Adakah ? Adakah tempat yang lebih sunyi ?
Adakah ? Gelapkah, pasti tidak ada kegelapan yang lebih gelap dari tempat itu.
Semua kelezatan yang pernah aku rasakan ketika aku hidup, mungkinkah akan
berganti menjadi rasa pahit yang luar biasa ?
Siapa yang akan peduli jika aku tercekam ketakutan ?
Siapa ? Gelap… gelap… Adakah cahaya… adakah ? Siapa yang akan memberikan aku
cahaya untuk menerangi kegelapanku di sana ? Siapa? Tiadakah aku punya sesuatu
yang berarti? Apakah amalku, amalku yang sedikit tersisa nanti akan mampu
menolongku, menemani dalam kesendirianku di sana ?
Bila mati, bila aku mati, oh… aku ini memang bukan seorang
‘alim yang pasti airmatanya meleleh jika membayangkan malam pertama di dalam
kubur, bukan pula seorang ahli hikmah yang mengeluhkan pedihnya dijerat
kematian, atau seorang penyair yang menerjemahkan tangisannya dalam bait-bait
kematian penggugah keharuan. Aku hanya manusia biasa, terlalu biasa untuk
mengingat kematian. Aku masih tenggelam dalam carut marut dunia yang aslinya
fana ini. Terlalu sedikit waktuku untuk mengingatnya, apakah memang waktunya
yang sedikit ataukah dunia ini yang membuatku sedikit untuk mengingatnya ?
Mati, bila mati, bila aku mati, saat ini aku memang belum
mati. Tapi seharusnya aku tidak boleh takut mati. Karena, setiap yang berjiwa
pasti akan merasakan mati. Semestinya aku harus mengingatnya setiap hari,
berbenah diri, memelihara waktuku, usia kehidupanku sekarang dan melakukan
persiapan yang baik untuk kedatangannya. Ah… dia memang tidak pernah membuat
janji padaku sebelumnya. Namun, mungkin saja dia akan datang pada saat-saat
dimana aku tidak menduga sama sekali.
Dia masih memperhatikanku…
Terus mengintaiku……
Mengawasi gerak-gerikku ……
Menungguku……
Untuk sebuah waktu yang telah ditentukan………
Terus mengintaiku……
Mengawasi gerak-gerikku ……
Menungguku……
Untuk sebuah waktu yang telah ditentukan………
“Ya Alloh, Yang Maha Mematikan, perbaikilah agamaku yang
merupakan penjaga urusanku, perbaikilah duniaku yang merupakan tempat hidupku,
perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku. Dan jadikanlah
kehidupanku sebagai penambah kebaikan bagiku serta jadikan “KEMATIANKU” sebagai
istirahatku dari segala keburukan.
“Allohumma a’inni ‘ala sakarootil mauuut…..
Allohumma hawwin ‘alayya sakarootil mauuut…..
Laa ilaha illalloh inna lilmauti la sakarooti…..”
Allohumma hawwin ‘alayya sakarootil mauuut…..
Laa ilaha illalloh inna lilmauti la sakarooti…..”
“Ya Alloh bantulah aku dalam menghadapi sakaratul
maut
Ya Alloh, mudahkanlah sakaratul maut padaku.
Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Alloh
Sesungguhnya kematian itu memiliki saat – saat sekarat”
Ya Alloh, mudahkanlah sakaratul maut padaku.
Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Alloh
Sesungguhnya kematian itu memiliki saat – saat sekarat”
0 komentar:
Posting Komentar